DIKOTOMI KENDALI

 DIKOTOMI KENDALI ALA STOISISME

"Some things are up to us, some things are not to us"

Artinya: "Ada hal-hal yang di bawah kendali kita, adapula hal-hal yang diluar kendali kita" - Epictetus dalam Enchiridion. 

 

Para Bapa Filsuf dua ribu tahun lalu telah memikirkan sumber-sumber ketidakbahagiaan manusia, maka dari itu, lahirlah suatu prinsip hasil pemikiran para Filosof yang disebut "Dikotomi Kendali".

Dikotomi kendali adalah suatu prinsip dalam Stoisime yang membagi apa yang bisa kita kendalikan dan apa yang diluar kendali kita, artinya, kita selaku manusia memiliki suatu hal yang bisa dikendalikan sepenuhnya dan ada pula hal yang diluar kendali diri.

Apa saja itu?

Hal didalam kendali kita adalah persepsi, opini, pikiran, ucapan, tindakan kita sendiri. Sedangkan yang di luar kendali kita seperti kesehatan, kekayaan, uang, persepsi, tindakan dan perkataan orang lain, kematian dsbg.

Para Filsuf stoa sadar bahwa sumber segala masalah adalah diri kita sendiri, bagaimana kita "mengartikan" suatu peristiwa yang kita hadapi menurut persepsi kita pribadi, karena, bagi para filsuf, peristiwa yang terjadi adalah bersifat netral, artinya tidak baik, tidak pula buruk, tergantung persepsi seseorang yang menghadapi peristiwa tersebut, entah apakah ia akan memahami peristiwa yang dihadapinya sebagai suatu hal positif ataupun negatif.

Ketika kita menghadapi suatu masalah yang berat [menurut kita], kita merasa terpuruk dan seakan-akan dunia tak pernah memihak pada kita, dunia selalu memusuhi, mengkhianati, mencaci, menekan, bahkan membunuh, ya, itu memang benar, dan para Filsuf Stoa pun membenarkan hal itu. Namun perlu diingat, bahwa dibalik semua "Keterpurukan" tersebut, kita mempunyai kuasa, kebebasan, kemerdekaan yang sepenuhnya ada pada diri kita, yakni kendali atas persepsi diri sendiri.

Sebagai contoh persepsi di bawah kendali kita analogikan sebagi berikut:

Suatu hari Sopi pergi ke Pasar untuk berbelanja, ia pergi sambil membawa HP, yang ia simpan di tas belanjanya, setelah selesai berbelanja ia bergegas pulang, namun setelah sampai di rumah, ia memeriksa barang belanjaannya dan ditemuinya Hp nya sudah hilang, tapi karena Sopi adalah seorang praktisi stoa yang paham dikotomi kendali, tidak semerta-merta langsung bereaksi, ngamuklah, sedihlah, atau marah-marahlah. Ia mencoba menenangkan diri dan berpikir bahwa HPnya mungkin jatuh di pasar, atau dicuri orang, dan ia sadar bahwa itu wajar, toh kan pasar emang ramai orang, semua jenis, ras, manusia ngumpul di pasar buat bermuamalah, dan buat apa juga dicari apalagi lapor polisi, jika hpnya jatuh juga kan pastinya udah ada yang ambil, jadi ya sudahlah, mungkin saja ada yang lebih butuh sama hpnya, dan mungkin saja ini isyarat buat segera ganti hp baru, dan yang paling utama mungkin ini ujian agar ia berusaha untuk sabar, ikhlas dan rela kehilangan, yang melatihnya untuk bisa siap menhadapi kehilangan yang lebih besar lainnya di suatu hari yang akan datang.

Beda dengan orang yang tak mengenal dikotomi kendali, sekali ia kehilangan barang yang dicintainya, eh langsung marah, ngamuk, seakan-akan hidupnya bergantung pada barang yang hilang tersebut.

Perlu kita sadari, kekayaan, barang, keluarga, kematian, jodo, pati, bagja, cilaka, berada di luar kendali kita, jadi suatu waktu bisa diambil dari kita, dan apabila kita sudah sadar pada apa yang diluar kendali kita, setidaknya kita sudah bersiap diri, dan berikhlas-rela hati jika waktu kehilangan itu datang menghampiri.

Karena kebahagiaan menurut Stoisime bukan hanya pada hal-hal eksternal kita tapi pada apa yang didalam diri kita sendiri. Hal-hal diluar eksternal bahkan tak berpengaruh sedikitpun pada kebahagiaan kita, karena itu bersifat semetara dan sewaktu-waktu dapat direnggut dari kita.

Tetapi kebahagiaan sejati adalah diri yang terbebas dari emosi negatif hasil dari irrasionalitas pikiran,  bagaimana interpretasi kita dan respon kita pada suatu peristiwa.

Peristiwa yang terjadi biarlah berlalu, peristiwa yang akan terjadi biarlah terjadi, dan dengan sadar harus siap menghadapi, dalam kerasionalitasan diri, dan hidup semaksimal mungkin dengan Arete/Vertue/Kebajikan.

Cobalah untuk bisa membedakan mana yang ada di dalam kendali kita dan mana yang diluar kendali, karena dengan prinsip ini, hidup akan lebih masuk akal, dan bahagia, tidak hanya mengandalkan nafsu/emosi negatif, tetapi mengandalkan Rasionalitas, yang membedakan mana Manusia sejati, mana Hewan.


Terimakasih, semoga Theos senantiasa melindungi... Salam Stoisisme...

Moch. Ridwan. Mulyana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Filosofi Teras (Filosofi Stoicism/Stoikisem)

Apakah Manusia Mempunyai Free Will Dalam Hidupnya Menurut Filosofi Determinisme

PENTINGNYA MEMAHAMI DIRI